Anak cemen
Gambar diatas hanya ilustrasi |
Gue ini anak yang paling cemen dari semua anak
cemen. Ibarat dunia kemiliteran, gue mungkin cocoknya berpangkat prajurit,
bukan prajurit yang ikut perang, tapi prajurit yang kerjaannya nguburin
prajurit korban perang. Gue juga bukan tipe orang yang suka menyelesaikan suatu
masalah dengan kekerasan (karena emang gak bisa berantem aja). Gue lebih suka
menyelesaikan suatu masalah dengan hati dan pikiran. Karena kami para bintang
LEO cinta perdamaian.
Waktu SD dulu, gue punya temen namanya Arfan. Anaknya
sangar badannya besar. Hobinya palakin gue. Tiap hari, gue harus bayar upeti ke
dia sebesar Rp.1000,00. Dia berkilah uang itu untuk jaminan keamanan yang ia berikan
kepada gue. Iya, Arfan ini adalah satu dari sekian banyak anak yang berprofesi
sebagai tukang bully di sekolah. Dia menarik upeti ke kita-kita ini (anak-anak
cemen) dengan jaminan nantinya kita gak akan kena bully. Tapi, gak sedikit juga
dari kami (anak-anak cemen) yang lebih memilih untuk melakukan perlawanan daripada
ngasih upeti seribu perak setiap hari. Buat kami yang berhasil melakukan
perlawanan, otomatis akan terbebas dari semua upeti yang dibebankan, sebaliknya,
buat kami yang gagal, kami akan dikucilkan, dijauhi dan tentunya biaya keamanan
yang dibebankan akan jauh lebih mahal dari biasanya. Bisa lo bayangkan betapa
kerasnya kehidupan SD gue ketika itu. Gue merasa kayak sekolah di hutan dimana
yang kuat berkuasa yang lemah menderita.
Firman, salah seorang yang pernah jadi korban
pemalakan oleh Arfan. Karena memanfaatkan kepintarannya dibidang akademis, dia
jadi gak dipalak lagi, tahu kenapa ? iya, dia membuat kesepakatan dengan
menawarkan contekan kepada Arfan tiap kali ada ujian, dengan catatan, Arfan
harus menghilangkan upeti yang dibebankan kepada Firman, ceritanya barter gitu.
Gue juga sempat berpikir untuk melakukan perlawanan. Tapi, buat gue yang tidak
secerdas Firman, tentu sangat sulit mengadopsi cara ini. Kalaupun harus
berantem sudah pasti gue kalah.
Makin hari kelakuan Arfan makin beringas dia
secara sepihak menaikkan tarif minimum palakannya menjadi Rp.1.500,00 tanpa
mengkonfirmasi kepada gue, dia beralasan naiknya tarif palakannya dikarenakan
harga jual sembako di pasaran yang sedang naik (trus apa hubungannya ?), gue
sempat ingin mengadu sama mamak-nya. Tapi, kesempatan itu gue urungkan setelah
melihat kondisi ekonomi keluarga Arfan yang sangat memilukan, gue gak mau menambah
beban masalah kepada mamak-nya Arfan. Gue baru tau kalo ternyata mamak-nya
Arfan itu seorang single parent dia
membesarkan Arfan seorang diri. Mereka berdua tinggal di sebuah kosan berukuran
4x3 meter. Memang kalo disekolah,
strata ekonominya gak begitu kelihatan karena semuanya pake seragam. Ketika di
luar lingkungan sekolah perbedaan kelas ekonomi itu terlihat sangat mencolok.
Arfan sangat malu ketika identitas sebenarnya terbuka sama gue. Dia takut kalo gue nantinya bakal buka mulut sama temen-temen lain tentang kondisinya. Semenjak itu dia udah mulai jarang palakin gue. Emang belum sepenuhnya tobat sih dia. Dia masih palakin gue tapi udah gak sesering sebelum gue tau latar belakangnya. Biasanya kalo Arfan lagi butuh duit dia bakal ngasih kode ke gue dengan mengelus-elus perutnya sambil berkata "aduh aku kurusan ya hari ini."
Dari cerita gue ini lo bisa ambil segi positifnya. Apapun latar belakang lo, asal dan tempat lo, jangan pernah sekali-kali terlihat lemah di mata orang lain. Tapi, caranya juga harus bener jangan kayak Arfan yang malah malakin uang anak-anak cemen untuk menyembunyikan kelemahannya.
Pesan moral
"Jangan pernah terlihat lemah di mata orang lain"
Comments
Post a Comment