Pengalaman Adalah Guru Terbaik
Dulu, ketika di SD, teman-teman saya sering meledek saya
sebagai lelaki lemah, alasannya karena saya tidak jago berantem. Oke, saya akui
saya memang tidak jago berantem. Tapi, saya tidak terima jika orang yang tidak bisa
berantem selalu diidentikan sebagai manusia lemah. Ini sama saja seperti menyebut
seseorang itu pintar dikarenakan nilai matematikanya yang baik. Lalu yang tidak
baik dianggap bodoh. Tidak seperti itu kawan.
Di masa itu, saya bisa dikatakan merupakan tipikal anak yang
sangat pemalu dan penyendiri. Jangankan teman biasa teman dekatpun seingat saya
hampir tidak punya. Eits, maksud saya belum punya. Penggunaan kata "tidak"
agaknya seperti saya tidak akan memiliki teman selamanya hehe. Oke, lanjut.
Jadi, ketika itu saya terus memikirkan bagaimana caranya supaya teman-teman saya
ini bisa saya dekati. Yang jelas caranya
harus mudah Dan praktis. Karena di masa itu, saya sangat menghindari gaya
pertemanan yang terkesan bertele-tele Dan membuang-buang waktu.
Semisal begini, ditiap kelas tentunya selalu Ada
anak-anak yang jadi pentolan di kelasnya. Anak-anak macam ini biasa dianggap
populer dan dipuja-puja bak dewa. Bagi anak-anak yang kepopulerannya tidak
semasif anak-anak tadi, tentunya mereka Akan berusaha menyaingi kepopuleran
anak-anak itu dengan melakukan berbagai macam cara. Berhubung tidak mempunyai daya
Dan kapasitas untuk menjadi populer, akhirnya anak-anak ini mengambil jalan pintas.
Apa itu? Mendekati anak-anak populer tadi Dan berperilaku persis seperti mereka.
Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan saya kala
itu untuk membeli PlayStation 1. Kenapa PlayStation 1? Karena di masa itu anak
yang memiliki PS (PlayStation) dianggap lebih bermartabat Dan keren. Cara
paling mudah menjadi lelaki sejati saat itu hehe.
Kejam betul dunia anak SD di masa saya bukan. Mungkin hal
semacam ini masih terjadi digenerasi sekarang atau sudah tidak. Saya harap tidak.
Untuk merealisasikan ide itu juga tidak mudah. Selama
satu semester saya harus berkutat dengan buku-buku pelajaran, mengerjakan
Pekerjaan rumah tepat waktu, Dan yang tidak boleh ketinggalan adalah katam
Iqra'. Ketiga poin itulah yang dijadikan kesepakatan oleh orang tua saya agar
PS yang dijanjikan bisa saya terima. Khusus untuk poin pertama, saya diharuskan
untuk masuk 10 besar. Mungkin saat ini tuntutan semacam itu terdengar sepele.
Tapi, bagi diri saya yang 10 tahun lalu. Tuntutan semacam ini sangatlah berat Dan
sulitnya minta ampun.
Apalagi yang menjadi ketakutan saya kala itu ternyata
benar-benar terjadi. Setelah mengikuti serangkaian ujian akhir yang diadakan
selama seminggu. Dua minggu setelahnya saya Dan walimurid yaitu ibu saya, diwajibkan
untuk hadir di sekolah guna mengambil rapor yang akan segera dibagikan. Dan benar
saja melalui walikelas dan disampaikan kepada ibu saya, diketahui nilai saya
dianggap belum memuaskan. Saya Ada pada peringkat 24 dari 30 murid. "Waduh,
kok bisa hancur begini," batin saya.
Ini ibaratnya, saya penjahat yang sudah divonis mati Dan
tinggal menunggu dieksekusi. Sembari mengobrol dengan ibu-ibu lainnya, ibu saya
memandangi saya dengan tatapan jengkel sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arah
saya. "Ya Tuhan mati aku," batin saya berkecamuk.
Sampainya di rumah, entah mengapa ibu saya langsung buru-buru
ke dapur. Ketika saya keluar dari kamar, saya sudah mendapati ibu saya duduk di
ruang tamu lengkap dengan sotel yang digenggam ditangan kanannya.
Hanya Ilustrasi |
Sesekali saya memandangi ibu saya sambil mengucap, "Tuhan,
saya serahkan segalanya yang bakal terjadi hari ini padamu."
Tanpa babibu saya langsung ditohok perihal nilai saya yang
anjlok. "Nilai mu kok bisa begini?"
Tenggorokan saya sempat tercekat ketika akan menjawab.
Mungkin Karena saking takutnya. Dari balik pintu tiba-tiba muncul bayangan sesosok
pria. Ya, dia adalah ayah saya. Yang sedang memanfaatkan waktu jam istirahat kantornya
dengan pulang kerumah. Karena kebetulan jarak antara rumah Dan kantornya saat
itu tidak terlalu jauh. Namun, ada sedikit yang berbeda dari ayah saya saat itu. Yah
betul, ayah saya sedang menenteng kotak PS yang sudah dijanjikannya.
Senangnya saya ketika tahu PS yang dijanjikan ternyata
sudah ditangan. Tapi, tetap saja saya harus menerima berbagai nasihat perihal
nilai rapor saya yang anjlok dari kedua orang tua saya. Untung juga sotel yang
dibawa ibu saya tidak sampai melayang ke pantat saya hehe.
Dengan begini tercapai sudah ambisi saya untuk mendekati
teman-teman kelas tanpa melalui proses yang berbelit-belit. Setelah teman-teman
kelas saya mendengar bahwa saya mempunyai PS. Tiap minggunya selalu saja ada
yang datang main ke rumah.
Jadi, begitulah dinamika pergaulan saya semasa SD.
Tapi, setelah beranjak dewasa saya berpikir, diri saya yang dulu sepertinya
memang agak sedikit pecundang. Ndak apalah itulah hidup, terima saja.
Jadikan pengalaman aja. Karena ...
Jadikan pengalaman aja. Karena ...
Pengalaman adalah guru terbaik.
TOP SQUAQ BEBEH |
Comments
Post a Comment