Merakyat #1
Saat itu aku sedang berkumpul bersama teman-temanku di
sebuah lobby hotel. Kami berempat berencana akan pergi ke sebuah mall di
bilangan Senayan, Jakarta. Temanku Andi terlihat begitu antusias, maklum saja
soalnya ini kali pertama dia datang ke kota besar seperti Jakarta. Sambil
menunggu pesanan taksi yang tak kunjung datang, aku beserta ketiga
teman-temanku coba memanfaatkan waktu itu untuk berkunjung ke kedai kopi yang
jaraknya tidak begitu jauh dari hotel tempat kami menginap.
Kedai starbukk, begitulah orang-orang menyebutnya. Banyak
desas-desus yang mengatakan jika kedai ini merupakan tempat nongkrongnya para
pejabat tinggi negara, anggota dewan,
kuli, buruh, hingga tukang parkir. Ketika aku menceritakan rumor ini kepada ketiga temanku kebanyakan
dari mereka justru menertawanku dan tidak sedikit dari mereka malah menyebutku
sebagai orang gila.
“Mana mungkin seorang pejabat negara bisa berada ditempat
seperti itu bersama dengan seorang tukang parkir?” Tanya Tio terkejut.
Kemudian aku jawab, “Kalo kamu tidak percaya juga tidak
apa-apa, Sebetulnya rumor ini aku dengar langsung dari masyarakat sekitar yang
tinggal disini. Hanya saja aku pun belum pernah membuktikannya juga.”
“Bisa jadi ini yang disebut sebagai ‘kedai yang merakyat’,”
Wawan menimpali sambil mendekatkan kepalanya diantara telingaku dan telinga Tio.
“Semoga saja bapak presiden juga ada disana, ya. Aku
ngefans sekali dengan bapak dodo,” Jawab Andi dengan penuh harapan.
Didorong rasa penasaran, kami berempat segera mempercepat
langkah kami. Sampainya di depan pintu masuk, kami berempat langsung masuk ke
dalam kedai secara beriringan. Dibalik pintu sudah ada beberapa waitress yang tampak
siap melayani kami.
“Mari silahkan!” Ucap
waitress itu dengan ramah.
“Oh iya, mbak. Apakah masih ada meja yang kosong?”
Tanyaku sambil menebar pandangan ke sekeliling ruangan.
“Masih ada satu meja yang kosong, mas. Mari saya antar,” Jawab
waitess itu seraya memandu kami ke meja yang dimaksud.
Sejauh ini, aku tidak melihat adanya keberadaan
orang-orang seperti yang dimaksudkan oleh para khalayak. Menurutku, kedai ini
ya.. kedai layaknya kedai pada umumnya. Para pengunjungnya pun mayoritas usianya
masih sepantaran dengan kami.
Tak lama kemudian, dari kejauhan, meja yang dimaksud
mulai tampak oleh kami berempat. Tapi, sepertinya tempatnya memang agak kurang
lazim begitu. Mejanya berada di dalam sebuah ruangan dan ditutupi oleh banyak
sekat di sekelilingnya. Lengkap dengan cermin di tiap dindingnya. Bisa
dikatakan semacam ruangan interogasi.
“Silahkan! Ini mejanya mas,” Ujar waitress itu, sesaat
kemudian dia memberikan buku menu pada kami.
“Beneran ini mejanya mbak?” Tanya Andi setengah tidak
percaya.
“Iya, mas,” Jawab waitress itu dengan santai.
“Belum pernah lihat yang beginian, ndi? Kampungan banget
sih,” Tio menimpali sambil menoyor kepala Andi.
Andi balik menoyor kepala Tio dengan sedikit berjinjit
untuk mencapai tinggi badan Tio,”Gak usah sok deh.”
“Kenapa sih pada ribut-ribut? malu tau. Kalian bertiga
masuk dulu gih! Aku mau ke toilet bentar,” Perintahku pada teman-teman.
Akupun buru-buru bergegas pergi ke toillet. Sambil tetap
berusaha menahan rasa kebelet yang sedari tadi kutahan. Di depan pintu toilet
secara tidak sengaja aku bertubrukan dengan Bapak-bapak. Wajah bapak ini sepertinya
tidak terlalu asing untukku. Mataku terus terpaku sambil menerka-nerka wajah
beliau. Tampaknya beliau sedang buru-buru juga.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dibalik pintu toilet
yang sepertinya sedang memanggil-manggil nama bapak yang kutabrak tadi, “Padli
zoon cepat kesini, saya butuh bantuanmu!”
“Sebentar, pak,” Bapak itu menjawab.
“Hah ..apa jangan-jangan bapak yang kutabrak ini adalah
bapak padli zoon yang seorang anggota dewan yang sering muncul ditelivisi itu,”
Batinku.
Lalu, kucoba memberanikan diri untuk bertanya kepada
bapak itu, “Pak, saya boleh tanya tidak?”
“Sebentar anak muda, saya sedang sibuk saat ini,” Jawab bapak
itu dengan tatapan sinis.
Kemudian terdengar kembali suara teriakan dibalik pintu
toilet yang memerintahkan bapak Padli zoon untuk segera masuk kedalam. Belum
sempat Bapak Padli zoon membalas sahutan pria dibalik toilet itu. Tiba-tiba
seorang pria dengan perawakan tinggi kurus dengan rambut belah pinggir lengkap
dengan pakaian serba putih keluar dari toilet.
Bersambung
Comments
Post a Comment